Adapunorang yang pertama kali membukukannya ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al- Zuhri (124H) atas perintah Umar bin Abdul Aziz yang lalu banyak diikuti oleh para ulama setelahnya. Kemudian, kurun ketiga hijriyah merupakan masa puncak dalam sejarah perkembangan pembukuan sunnah, para ulama mulai mencari metode gres dalam penulisan
Upayauntuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan hadits adalah sebagai berikut: 1. Tidak adanya larangan pembukuan sedangkan Al-Qurâan telah dihafal ribuan orang dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Utsman,
Padasekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah. Ada beberapa perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah Umar bin Khtthab, yang meliputi Sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama.
Urgensiini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H.)[2] sebagai (Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah) berinisiatif mengkodifikasikan hadis dengan beberapa pertimbangan : a) Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya
Padamasa Khalifah Abu Bakar, terjadi peristiwa tragis dalam Perang Yamamah. Saat itu, sebanyak 70 sahabat yang hafal Al Quran gugur. Atas saran dari Umar bin Khattab, Abu Bakar lalu mengumpulkan para penghafal Al Quran dan mulai menyusun proyek Al Quran dalam satu mushaf. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pembukuan hadis-hadis yang
Dalammeriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga sampailah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Melihat perkembangan hadits seperti itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) menganggap perlunya untuk segera melakukan penghimpunan dan pembukuan hadits.
MakamKhulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab, di Madina, Arab Saudi. Umar bin Khattab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Dikutip dari Khulafaur Rasyidin (2019), Umar memimpin dari 634-644 M atau 13-23 H. Leluhurnya adalah pejabat duta besar dan pedagang. Ia kerap ikut orangtuanya berdagang ke luar negeri.
SetelahNabi wafat pada masa Umar Bin khatab menjadi kholifa ke-2 juga merencanakan menghimpun Hadist-Hadist Rasul SAW dalam satu kitab, namun tidak diketahui mengapa niat itu batal dilaksanakan. Dikala kendali Khalafah dipegang oleh Umar Ibnu Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah.Seorang khalifah dari dinasti Umayyah terkenal adil
Paraulama hadits menilai bahwa kodifikasi hadits dilakukan secara resmi oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan upaya tersebut merupakan kodifikasi hadits untuk pertama kalinya. Sehingga, banyak ditemukan dalam berbagai karya mereka tentang pernyataan: âAdapun permulaan kodifikasi hadits terjadi pada penghujung abad 1 Hijriyah, yaitu pada
Bahkanal-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan, Periode keempat berlangsung dari masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz (99H-102H) sampai akhir abad kedua Hijriah. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist.
2Kajian hadis mencapai puncaknya ketika memasuki masa tadwin pada abad kedua hijriah yang dimotori oleh Umar bin Abdul Aziz. Dia merupakan pencetus kodifikasi hadis, sehingga hadis waktu itu menjadi topik kajian yang paling menarik, bahkan pasaca setelah tadwin muncul berbagai karya kitab yang sanagat monumental.
IgnazGoldziher, bukanlah orang yang pertama kali memberi kritik terhadap hadis, namun demikian dirinya dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh dalam mengembangkan kajian hadis di Barat. Secara umum pemikiran Goldziher tentang sunnah dan hadis tersimpul kepada tiga topik yakni; asal-usul hadis, perkembangan dan pemalsuan hadis, dan
Kecualipada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Maâmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
1Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi dari Tinjauan Sejarah ADDIN, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013 SISTEMATIKA KODIFIKASI HADIS NABI DARI TINJAUAN SEJARAH M Author: Hartanti Ida Cahyadi. 199 downloads 363 Views 368KB Size. Report. DOWNLOAD PDF. Recommend Documents. MEMBACA SEJARAH KODIFIKASI HADITS .
Padatahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal. Umar bin Abdul Aziz melakukan Objektivikasi , yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan dan proses eksternalisasi manusia
MuIM. Sejarah Kodifikasi Hadis pada Masa Umar bin Abdul Aziz. Hadis pada masa nabi tersampaikan melalui lisan atau dari mulut ke mulut. Kemudian pada akhir masa abad pertama hijriah, tepatnya pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz penguasa dinasti Umayyah mencoba mendokumentasikan, mengumpulkan hadis-hadis itu dalam bentuk kitab. Gagasan-gagasan yang sampai kepada khalifah Umar bin Abdul iziz kemudian direspon oleh ulama-ulama pada waktu itu dengan antusias. Para Penulis Hadis Langkah-langkah Umar bin Abdul Aziz dalam mengumpulkan hadis adalah dengan menunjuk salah satu gubernur madinah. Gubernur tersebut bernama Amr bin Hazm wafat 735M yang memperoleh mandat untuk mengumpulkan hadis-hadis dari madinah. Selain Amr bin Hazm, juga menunjuk salah seorang tokoh yang bernama Syihab Az-zuhri wafat 795M. Sedangkan untuk membangun sebuah metodologi, menunjuk Malik bin Anas wafat 741M sebagai orang yang secara teknis mengumpulkan hadis-hadis tersebut. Oleh karena itu, pada masa inilah yang para sejarawan menyebutnya dengan istilah al ashr al fash al riwayat yaitu upaya-upaya untuk mengumpulkan hadis. Hal tersebut dilakukan mulai dari mengklasifisikan hadis sesuai dengan tingkat otentisitas dan juga tingkat orisinalitas sebuah hadis. Pelaksanaan kodifikasi hadis atau pembukuan hadis memang atas dasar banyaknya sahabat-sahabat yang mempunyai tulisan atau kumpulan-kumpulan hadis pada masa itu. Demi Kebaikan Umat Islam Walaupun pada waktu itu nabi dasarnya melarang untuk menuliskan hadis, tapi ada beberapa sahabat yang tetap menuliskan sebuah hadis. Salah satunya adalah sahifah yang terkumpul di tangan sahabat Abdullah ibn Amr Al-ash, kemudian sahifah ash-sahihah milik Hamman bin Munnabih, kitab-kitab Abdullah bin abbas dan sohifah Jabir bin Abdillah al-anshari. Mereka semua mempunyai catatan hadis meskipun tulisan tersebut pada masa nabi tidak resmi karena larangan nabi untuk menulis hadis. Dari dasar itulah maka agar tidak menjadi perbedaan, tidak terjadi penyalahgunaan riwayat, terkait dengan kepentingan-kepentingan politik khusunya pada hadis-hadis yang berkembang pada masa itu maka Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama untuk melakukan pengkodifikasian hadis. Motif kodifikasi hadis juga terdorong oleh banyaknya para penghafal hadis yang meninggal atau wafat dalam peperangan perluasan islam. Adanya konflik antar kelompok atas dasar ideologi yang semakin berkembang akibat pollitik, perebutan kekuasaan pasca peristiwa tahkim yaitu ketika pertikaian antara sayidina Ali dan Muawiyah yang kemudian melahirkan firqah-firqah dalam Islam. Salah satu dari banyak sebab adalah karena banyaknya ragam penafsiran hadis. Selain itu juga ada pemalsuan hadis dalam rangka untuk mendukung para penguasa pada masa itu. Adanya kelompok-kelompok pendewan hadis yang tidak resmi di luar kehendak khalifah yang kemudian menimbulkan ancaman yang cukup membahayakan. Hal itu karena khawatir pendewan hadis hanya untuk kepenting-kepentingan kelompok tertentu. Berkembangnya budaya literasi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, budaya literasi atau budaya tulis menulis. Sehingga sangat memungkinkan secara sumber daya manusia, kemampuan untuk mencoba melakukan kodifikasi hadis. Untuk menjaga ontentisitas sebuah hadis dan menjaga keaslian suatu hadis, maka upaya-upaya itu menjadi dasar yang kuat bagi Umar bin Abdul Aziz untuk melakukan kodifikasi atau pengumpulan hadis. Terbit pertama kali di website berjudul Sejarah Kodifikasi Hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz 1
I. PENDAHULUAN Al-Hadith merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qurâan. Keberadaan al-Hadith merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qurâan. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qurâan. Sedangkan al-Hadith, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qurâan itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadith dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qurâan telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadith tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadith secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadith. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang definisi kodifikasi hadith, sejarah kodifikasi hadith dan faktor- faktor pendorong kodifikasi hadith. II. PEMBAHASAN A. DEFINISI KODIFIKASI HADITH Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[1] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman recording, penulisan writing down, pembukuan booking, pendaftaran listing, registration. Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.[2] Adapun kata rasmiyan secara resmi mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri. Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat. Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah a. Kodifikasi hadith secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulusan hadith dilakukan oleh perorangan. b. Kegiatan kodifikasi hadith tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasikannya. c. Tadwin hadith dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadith dilakukan oleh orang- orang tertentu.[3] B. SEJARAH KODIFIKASI HADITH Ide penghimpunan hadith nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh Khalifah Umar bin al Khattab H=633 M. Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari al Qurâan. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadith nabi itu dikemukakan sesudah beliau melakukan sholat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu membawa akibat jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.[4] Memasuki periode tabiâin, sebenarnya kekhawatiran membukukan/ kodifikasi hadith tidak perlu terjadi, justru pada periode ini telah bertabur hadith- hadith palsu yang mulai bermunculan setelah umat Islam terpecah menjadi golongan- golongan, yang semula berorientasi politik berubah menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syiâah, murjiâah, dan lain- lain. Perpecahan ini terjadi sesaat setelah peristiwa tahkim yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya khalifah Umar bin Affan ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu mencipta hadith palsu.[5] Kemudian semua karya tentang hadith dikumpulkan pada paruh akhir abad ke- 2H/ 8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun ahli hadith telah mulai menulis hadith, meskipun tidak dalam himpunan yang runtut. Belakangan koleksi kecil ini menjadi sumber bagi karya-karya yang lebih besar. Meskipun begitu kebanyakan hadith yang ada dalam himpunan- himpunan besar disampaikan melalui tradisi lisan. Sebelum dicatat dalam himpunan- himpunan tersebut belum pernah dicatat di tempat manapun.[6] Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. 1 Kelompok Syiâah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr 1272-1354 H, yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib 35 H, terbukti adanya Kitab Abu Rafiâ, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.. 2 Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya. 3 Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinyaâ Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahliâ dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan âTuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada Amrah Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H, karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.â Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat. Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin AbdulâAziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri w. 123 H, karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya âUmar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.â Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Maâdan w. 103 H. Rasyid Ridha 1282-1354 H berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.[7] Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah 1 Al-Muwaththaâ yang ditulis oleh Imam Malik 2 Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shanâani 3 As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur 4 Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan 5 Musnad Asy-Syafiâi.[8] Teknik pembukuan hadith- hadith pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththaâ, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah a. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadith marfuâ, mauquf, dan maqthuâ. b. Al-Muwatththaâ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththaâ diartikan sama dengan Mushannaf. c. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalah pembukuan hadith yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut Tulisan-tulisan hadith pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.[9] Aktifitas Ulama dalam kodifikasi hadith sejak Abad II H. 1. Kodifikasi Hadith Abad II H. Pada abad kedua, para ulama dalam aktifitas kodifikasi hadith tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadith- hadith saja, tetapi fatwa sahabat dan tabiâin juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadith pada abad kedua ini disamping memasukkan hadithâ hadith nabi juga perkataan para sahabat dan para tabiâin juga dibukukan, sehingga dalam kitab- kitab itu terdapat hadith- hadith marfuâ, hadith mawquf dan hadith maqthuâ.[10] 2. Kodifikasi Hadith Abad III H. Abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabiâin. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni masa al- Maâmun sampai al- Muktadir sekitar tahun 201- 300 H. Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bias dipisahkan antara hadith marfuâ, mawquf, dan maqthuâ, hadith yang dhaif dari yang sahih ataupun hadith yang mawdhuâ masih tercampur dengan sahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah- kaidah dan syarat- syarat untuk menentukan apakah suatu hadith itu sahih atau dhaif. Para periwayat hadith pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.[11] 3. Kodifikasi Hadith Abad IV- VII H. Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadith berturut- turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa- fatwa sahabat dan tabiâin, yang system pengumpulan hadith nya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat pada sebelum abad ke empat disebut ulama mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadith pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama mutaakhirin. Pembukuan hadith pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen- tadwinâ an terhadap kitab- kitab hadith yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al kutub al- sittah, al- Muwaththaâ Imam Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab- kitab yang berbentuk jawamiâ, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadith untuk topik- topik tertentu.[12] 4. Kodifikasi Hadith Abad VII- sekarang. Kodifikasi hadith yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab- kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab- kitab takhrij, membuat kitab- kitab jamiâ yang umum, kitab- kitab yang mengumpulkan hadith- hadith hukum, men takhrij hadith- hadith yang terdapat dalam beberapa kitab, men- takhrij hadith- hadith yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadith- hadith disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadith- hadith dalam shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim, men- tashih sejumlah hadith yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadith- hadith tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadith dalam jumlah tertentu.[13] C. FAKTOR- FAKTOR PENDORONG KODIFIKASI HADITH Ada tiga hal pokok yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan kodifikasi hadith 1. Beliau khawatir hilangnya hadith- hadith, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini adalah faktor utama sebagaimana yang terlihat dalam naskah surat- surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya. 2. Beliau khawatir akan tercampurnya antara hadith- hadith yang shahih dengan hadith- hadith palsu. 3. Dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabiâin antara satu dengan yang lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya kodifikasi ini.[14] Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian hadith adalah untuk menyelamatkan hadith- hadith nabi dari kepunahan dan pemalsuan. D. PENENTU KEBIJAKAN KODIFIKASI DAN ULAMA YANG TERLIBAT DI DALAMNYA Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabiâin berbeda pendapat penulisan hadith dalam beberapa pendapat a. Sebagian mereka membencinya, diantaranya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Masâud serta Zaid bin Tsabit. b. Sebagian lain membolehkannya, diantaranya adalah Abdullah bin Ameer dan Anas, Umar bin Ibnu Abdul Aziz serta kebanyakan para sahabat. c. Kemudian mereka sepakat untuk membolehkannya, dan hilanglah perbedaan. Dan seandainya hadith tidak dibukukan dalam kitab- kitab niscaya akan sirnalah dalam masa akhir terutama dimasa kita sekarang.[15] Sedangkan ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain 1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Beliaulah yang memerintahkan adnya pembukuan hadith dengan alasan kuatir lenyapnya ajaran- ajaran nabi berhubung telah banyak ulama dan sahabat yang wafat. Karena itu beliau menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis hadith- hadith nabi.[16] 2. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. 3. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. 4. Muhammad ibnu Abdurrahman bin Dziâib 80-158 H di Makkah. 5. Rabiâ bin Sabih -160 H, Saâid bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. 6. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-âAbd dan Maâmar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. 7. Abdurrahman bin Amr al-Auzaâi 88-157 H di Sham. 8. âAbdullah ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. 9. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. 10. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. 11. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir.[17] Proses kodifikasi pada masa ulama Ibnu Abdul Aziz Untuk keperluantadwin ini, sebagai khalifah Umarmemberikan instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm, seorang gubernur Madinah agar mengumpulkan dan menghimpun hadith- hadith yang ada pada Amrah binti Abd al- Rahman al- Anshari dan al- Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadith juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al- Zuhri, seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al- Zuhri menggalang agar para ulama hadith mengumpulkan hadith di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadith dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadith selanjutnya.[18] III. ANALISIS Dari pemaparan tentang kodifikasi hadith diatas penulis sangat sependapat dengan usaha pengkodifikasian hadith yang di prakarsai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan- alasan kuat yang diajukan oleh Khalifah Umar penulis menganggap pelaksanaan kodifikasi sangat di perlukan untuk dilakukan. Selain untuk menjaga ajaran- ajaran Nabi Muhammad SAW, pengkodifikasian juga diperlukan untuk menghindari pemalsuan hadith Nabi. Hal ini perlu dilakukan karena hadith merupakan salah satu pedoman umat Islam dalam menjalankan syariâah. Peran hadith dinilai sangat penting karena kedudukannya sebagai penjelas ayat- ayat yang belum jelas. Banyak ayat- ayat al Qurâan yang memerintahkan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, akan tetapi tidak menjelaskan caranya. Misalnya sholat dan haji. Dan bagaimana cara pelaksanaan sholat dan haji dijelaskan dalam hadith nabi. Dengan demikian pengkodifikasian hadith perlu mendapat apresiasi yang tinggi terhadap pelopor dan pelaksananya. IV. KESIMPULAN Rencana untuk mengumpulkan hadith- hadith nabi pertama dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan. Alasan utamanya adalah karena waktu itu masih berlangsung pengumpulan al Qurâan. Sedangkan kodifikasi secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar memerintahkan kepada para gubernur untuk mengumpulkan dan melakukan pembukuan terhadap hadith. Ulama yang terlibat di dalam kodifikasi hadith antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz. memerintah mulai tahun 99-101 H. Abdul Malik bin Abdul Aziz -150 H di Makkah. Malik bin Anas 93-179 H dan Muhammad bin Ishaq -151 H di Madinah. Muhammad bin Abdurrahman bin Dziâib 80-158 H di Makkah. Rabiâ bin Sabih -160 H, Saâid bin Arubah -156 H dan Hammad ibn Salamah -167 H di Basrah. Sufyan al-Thauri 97-161 H di Kufah, Khalid ibn Jamil al-âAbd dan Maâmar ibn Rashid 95-153 H di Yaman. Abdurrahman bin Amr al-Auzaâi 88-157 H di ibn al-Mubarak 118-181 H di Khurasan. Hashim ibnu Bushair 104-183 H di Wasit. Jarir ibn Abdul Hamid 110-188 H di Rayy. Abdullah ibn Wahb 125-197 H di Mesir. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainul, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005. al- Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, fath al Bari, juz I. Echols, John, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996. Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995. Jaâfariyan, Rasul, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992. Najwah,Nurun, Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996 Thahan, Mahmud, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997. Zuhri, M., Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997. [1] John Echols, M. Hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta Gramedia,1996, 122. [2] Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya Alpha, 2005, 34. [3] Ibid, 35. [4] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995, 49. [5] M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta Tiara Wacana, 1997,52. [6] Rasul Jaâfariyan, Penulisan dan Penghimpunan Hadith kajian histori, Lentera, 1992, 23. [8] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya Bina Ilmu, 1993, 85 [10] Idri, Studi Hadis, Jakarta Kencana, 2010, 95. [11] Ibid, 97. [12] Ibid, 99. [13] Ibid, 101. [14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta Radar Jaya, 1996, 68. [15] Mahmud Thahan, Ulumul Hadith, Studi Komplesitas hadith nabi, penerjemah, Zainul Muttaqin, Yogyakarta Titian Ilahi Press & LP2KI, 1997, 194. [16] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, 85. [18] Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, fath al Bari, juz I, 195.
Proses kodifikasi haditsKodifikasi hadist resmi di prasakasa para penguasa, ide penghimpunan hadistsecara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar Bin Khattab,namun ide tersebut tidak dilaksanakan karena dikhawatirkan umat islam terganggudalam mempelajari dan membukukan Al Qurâan. Barulah Pembukuan Kodifikasi hadist secara resmi terjadi pada abad ke IIHijriyyah pada masa Khalifah Umar bi Abdul aziz, Khalifah dari Bani umayyah thn91-101, beliau sadar dan sangat waspada semakin sedikitnya perawi hadist, beliaukhawatir jika tidak segera dibukukan maka hadist nabi akan menghilang seiringwafatnya para perawi 1. Pengumpulan Haditsa Pada masa pertama, Pada tahun 100 H, sang khalifah memerintahkan kepada para gubernurMadinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukanhadist-hadist dari bin Abdul Aziz menulis surat kepada gubernur, yaitu âperhatikanlahapa yang dapat diperoleh dari hadist rasul, lalu tulislah karena aku takut akanlenyap ilmu disebabkan meninggalnya para ulama, dan jangan diterima selainhadist Rasul SAW, dan hentikanlah disebarluakan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, makasesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.â Selain kepada gubernur Madinah, Khalifahjuga menulis surat kepada gubernur lain supaya mengusahakan pembukuanhadist. Khalifah juga secara menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad binMuslim bin Abaidilllah bin Syihab az-Zuhri. Kemudian Syihab azZuhri mulaimelaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yangpertama kali membukukan Pada masa kedua,1 Ibid, hlm 602 Hasan Sulaiman., dkk., Terjemah Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Surabaya Muçć¤araIlmu, 1995, hlm. Xiv1
Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata, âAl-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.âDahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabiâin dan orang-orang yang datang setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan SahabatMasa Tabiâin dan setelahnyaMasa SahabatSebetulnya, kodifikasi penulisan dan pengumpulan hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, âTidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.âNamun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Saâid al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, âJanganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..â HR MuslimMasa Tabiâin dan setelahnyaTradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdulâaziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, âDan Umar bin Abdul aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, âLihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.âIbnu Hajar mengatakan, âDapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir âpadahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat Nuâaim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, âUmar bin Abdul aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, âlihatlah hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.âDiantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam kitab Mekah ada Ibnu Juraij w 150 H dengan kitab âas-sunanâ, âat-Thaharahâ, âas-shalahâ, âat-tafsirâ dan âal-Jaamiâ. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar w 151 H menyusun kitab âas-sunanâ dan âal-Maghaziâ, atau Malik bin Anas w 179 H menyusun âal-Muwaththaâ. Di Bashrah Saâid bin Arubah w 157 H menyusun âas-sunanâ dan âat-tafsiirâ, Hammad bin Salamah w 168 H menyusun âas-sunanâ. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri w 161 H menyusun âat-Tafsirâ, âal-Jami al-Kabirâ, al-Jami as-Shaghirâ, âal-Faraaidhâ, âal-ItiqadâAl-AuzaâI di Syam, Husyaim di Washith, Maâmar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan. Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabiâ juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama âshahih al-Bukhariâ. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab âshahih muslimâ.Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ilal, tarikh, ajzaa` dan lain-lain. Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak UtamaMuqaddimah Mushahhih Kitab âMaârifah Ulum al-Hadisâ, al-Hakim al-Muqtarah lii fahmi al-Musthalah, Syaikh DR. Syarif Hatim al-AuniFathul Bariy, al-Hafidz ibnu
proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz